Refleksi
Pendidikan Indonesia di Usianya yang ke 73
Oleh : Billy Anugrah
Oleh : Billy Anugrah
Sumber Gambar : http://silabus.org/konsep-pendidikan/ |
Hiruk
pikuk perayaan kemerdekaan telah bersama-sama dilewati pada tanggal 17 Agustus
2018 lalu, Berbagai macam perayaan dilaksanakan di kota-kota maupun di
desa-desa, baik dengan melaksanakan lomba-lomba ataupun acara-acara tertentu
yang bertujuan untuk memeriahkan peringatan kemerdekaan ini. Dengan usianya
yang sudah mencapai tahun ke 73, sudah seharusnya bangsa ini terus melangkah
untuk menjadi negara yang lebih baik dalam segala hal, baik itu dari sektor
ekonomi dan infrastruktur yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat,
sektor pendidikan yang berkaitan erat dengan sumber daya manusia, maupun sektor-sektor
lainnya
Salah
satu sektor yang perlu mendapatkan perhatian adalah sektor pendidikan. Dengan
memaksimalkan sektor ini, ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas
dapat terjamin untuk memastikan usaha memajukan negara Indonesia berada di
tangan yang tepat. Hal ini sesuai dengan bunyi alinea ke empat pada pembukaan
UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut;
“Kemudian dari pada
itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” [1].
Salah
satu poin yang harus kita perhatikan adalah, para pendiri bangsa sangat
memperhatikan sektor pendidikan dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Segala upaya telah banyak dilakukan, dari mulai perbaikan sistem yang
mencakup perubahan kurikulum maupun pembangunan sekolah di daerah-daerah
pelosok, hal ini semakin memperkuat urgensi pengingkatan kualitas pendidikan di
Indonesia.
Dengan semakin
meningkatnya perhatian pemerintah terhadap kualitas pendidikan di Indonesia,
apakah saat ini kualitas pendidikan Indonesia sudah baik? Pertanyaan tersebut
seringkali muncul karena hingga hari ini masih banyak permasalahan yang
seringkali muncul yang diakibatkan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah yang pada akhirnya memunculkan pro dan kontra pada masyarakat.
Misalnya, persoalan Ujian Nasional yang beberapa kali memunculkan polemik
tentang keberadaanya yang dianggap terlalu memberikan tekanan terhadap siswa,
ataupun kebijakan zonasi yang menimbulkan berbagai protes di masyarakat. Selain
permasalahan-permasalahan tersebut, pada tahun 2012 publik sempat dikejutkan
dengan hasil riset berskala internasional yang bernama PISA (Program
for International Student Assessment) . PISA adalah salah satu program kerjasama
di beberapa negara yang tergabung dengan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) untuk dapat melihat perbandingan kemampuan akademis siswa
berumur 15 tahun di berbagai negara dalam bidang matematika, sains, dan membaca
[2]. Hasilnya, Indonesia berada pada peringkat 63 dari total 65 negara. Hasil
ini tentu sangat memprihatinkan dan membuat kita menjadi semakin penasaran terhadap
permasalahan apa yang sebenarnya ada pada kualitas pendidikan di Indonesia.
Sebenarnya,
hasil riset tersebut tidak dapat menggambarkan sepenuhnya kondisi pendidikan
yang ada di Indonesia, hal ini bisa diakibatkan oleh pengambilan sampel yang
kurang mewakili populasi siswa, serta konten soal yang diujikan yang kemungkinan
belum pernah ditemui oleh siswa-siswa ketika mengerjakannya. Namun, hasil
tersebut juga dapat kita jadikan refleksi untuk mengevaluasi kembali mengenai
kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Dari soal-soal yang diujikan
terutama pada bidang Matematika, kebanyakan siswa-siswa yang ada di Indonesia
selalu langsung memikirkan rumus-rumus tertentu, padahal esensi dari Matematika
adalah abstract modelling untuk
melatih logika berfikir yang tepat [3]. Poin utamanya adalah, sistem pendidikan
yang ada di sekolah-sekolah pada umumnya lebih banyak membuat siswa lebih
memilih untuk menghapal pola soal dan menggunakan rumus-rumus dibanding
memahami konsepnya secara lebih mendalam.
Selain
permasalahan-permasalahan tersebut, mindset
yang tertanam pada siswa-siswa di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab
kurangnya minat untuk lebih mendalami suatu ilmu berdasarkan konsepnya, dalam
hal ini lebih banyak siswa yang lebih memikirkan tentang berapa nilai yang
didapat dibanding menikmati setiap proses sehingga dapat lebih memberikan
manfaat dari ilmu yang sudah dipelajari. Padahal, hakikat sebenarnya dari
belajar itu adalah mampu menyederhanakan dan menyelesaikan berbagai persoalan
yang dihadapi sehari-hari. Terdapat salah satu proyek menarik yang digagas oleh
google yaitu Google Science Fair Project
yang selalu diselenggarakan setiap tahun. Pada event ini, anak-anak yang berumur 14-18 tahun menampilkan hasil
karyanya masing-masing dari apa yang sudah mereka pelajari disekolahnya
masing-masing. Ada yang menemukan material alternatif plastik dengan bahan
dasar organik yang bisa jadi solusi untuk penumpukan limbah dan polusi plastik,
ada yang mengembangkan aplikasi berbasis android untuk mengurai kemacetan, ada
juga yang mengembangkan sumber energi listrik alternatif dengan menggunakan
sumber panas tubuh manusia. Pesertanya tidak hanya berasal dari negara-negara
maju seperti Amerika Serikat atau negara-negara Eropa, tetapi ada juga yang
berasal dari negara di Afrika yaitu Swanziland. Sayangnya, belum banyak peserta
yang berasal dari Indonesia yang mengikuti proyek ini. Padahal, negara kita
memiliki banyak permasalahan yang bisa dicari solusinya dengan menggunakan
ilmu-ilmu yang sudah diperoleh di sekolah. Dari hal tersebut, dapat kita
simpulkan bahwa kita masih harus bekerja keras untuk lebih menumbuhkan minat
untuk belajar, tidak hanya studying,
tapi juga learning, sehingga proses
pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan keluaran yang dihasilkan juga
menjadi lebih baik [4}. Upaya perbaikan itu tidak hanya menjadi tugas
pemerintah, instansi pendidikan ataupun guru-guru yang berada di sekolah,
tetapi juga menjadi tugas para orang tua maupun kita sebagi pegiat literasi.
Pada
usia negara kita yang sudah mencapai tahun ke 73 ini, sudah selayaknya kita
harus lebih proaktif untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan
pendidikan ini. Sebagai pegiat literasi, meningkatkan minat baca terutama pada
anak-anak merupakan tugas utama kita. Hal ini bukan tugas yang mudah, tapi
dengan tumbuhhnya minat baca, kita tentu sama-sama berharap wawasan dan
pengetahuan siswa-siswa kita menjadi lebih terbuka, dan yang paling utama para
siswa dapat benar-benar menikmati proses belajar yang ada, tidak hanya untuk
nilai, tapi untuk kebermanfaatan bagi masyarakat di sekitar. Jika hal ini dapat
terwujud, tentu cita-cita Indonesia sebagai negara yang maju pada usia ke 100
di tahun 2045 dapat terwujud, mungkin bukan oleh kita, tetapi oleh generasi
penerus kita.
Ditulis oleh:
Billy Anugrah
Penulis adalah
anggota GPAN Regional Malang (Tim Media dan Desain Grafis). Penulis
menyelesaikan pendidikan Sarjananya di Fakultas Teknik, Jurusan Teknik
Industri, Universitas Brawijaya, Malang. Penulis dapat dihubungi melalui media sosial instagram:
billyanuggrah serta twitter : @billy9anugrah
Sumber Referensi :
[5] http://silabus.org/konsep-pendidikan/
Komentar
Posting Komentar