KISAH KECAMBAH

KISAH KECAMBAH
Ketika kurasakan hangat mentari untuk pertama kalinya, saat itu pula kusadari, aku muncul di muka bumi ini tak seorang diri. Dalam sebuah gelas plastik bekas air mineral ini ada tunas kecil lain, sama seperti diriku, dari sebiji kacang kedelai.

Ada satu keinginan yang timbul dalam diriku, aku ingin menyentuhnya. Seandainya aku punya sesuatu untuk itu. Tapi hanya ada kepala, batang dan juga akar. Lalu, satu-satunya jalan saat itu adalah kuusahakan agar aku semakin tumbuh mengarah padanya.
Rupanya harapan punya cara sendiri untuk datang pada setiap yang mau berusaha. Suatu saat tumbuh daun-daun pada diri kami. Betapa senangnya aku. Dengan daun inilah kami akan saling merasakan keberadaan satu sama lain, secara fisik.
Masa yang dinanti pun tiba. Pada suatu malam, daun-daun akhirnya bisa saling bersentuhan. Bayangkan, sungguh luar biasa sensasi yang kurasa menghantar dari ujung tipis daun tersebut sampai akar yang menjalar di balik serabut kapas putih basah dalam gelas plastik itu. Dan ketahuilah, kebahagiaan yang melengkapi lagi. Saat itu pula kurasakan akar kami bertemu. Nyaman, tenang, damai. Aku merasa sebagai kecambah paling mujur dan paling bahagia.
Dibalik semua itu, tiba-tiba kurasakan munculnya sebuah ketakutan. Rasa takut akan kehilangan. Rasa takut akan sebuah perpisahan. Mengapa justru timbul suatu rasa yang begitu meresahkan? Suatu senja, ada yang mengangkat dirinya dari gelas plastik ini. Senja dimana aku belum siap. Senja dimana aku masih punya rencana tentangnya. Tetapi, aku hanya sebatang kecambah. Tak berdaya, tak punya kuasa. Ingin rasanya marah, tetapi kepada siapa dan untuk apa aku tak tahu. Kupasrahkan saja kepergiannya.
******
Kapas putih tempatku berpijak selalu basah, selalu baik untuk kelangsungan tumbuh kembangku. Namun tak berarti lagi. Kutolak semua energi yang mengalir sebagai asupanku. Kucoba melawan takdir yang memaksaku untuk bertahan. Sampai suatu saat, kapas ini mengering. Stabilitas tubuhku mulai rusak. Daun-daunku berubah lebih buruk daripada cokelat yang mengering dan menciut. Aku rapuh. Tak mampu lagi aku berdiri tegak. Semakin lama, aku semakin merunduk. Malu rasanya aku pada kapas ini. Malu rasanya aku pada gelas ini. Sudah kuputuskan. Lebih baik kubiarkan saja mati perlahan. Sakit dan menyayat. Tetapi bukan aku, perasaan duka untuknyalah yang akan kubinasakan.
Aku pernah berada di puncak awan bersamanya. Lalu untuk apa aku harus kecewa pada takdir yang sedang tak berpihak ini. Yakinlah, akan tiba masanya bagiku kembali bahagia. Mungkin dalam bentuk yang sama atau rupa yang lain. Tak apa.
Dengar dan menjadi saksilah. Aku hanya sebatang kecambah, tetapi aku akan tegar bagaikan pohon jati. Terima kasih untukmu yang pernah hadir dan tumbuh dalam gelas plastik menemani diriku.
-Lcm-

Komentar