MISTERI PENIKMAT KOPI
JihanFee
Gerimis
rinai hujan menyiram bumi, menikmati desau angin membelai dingin wajahnya. Dibalut
dengan hangatnya aroma kopi yang diseduh. Namun, tetap saja auranya masih
terlihat lusuh. Vey masih terpaku diatas kursinya. Merasakan angin malam yang terasa
mengejek wajahnya. Untuk apa menunggu, siapa yang akan hadir menempati kursi
kosong dihadapannya ?.
Dengan
gerakan pelan Vey memundurkan kursinya. Hendak pergi meninggalkan kedai kopi
yang kini sudah menjadi tempat favoritnya. Namun, seseorang dari arah belakang
memanggil namanya. Vey memajukan dan menduduki kursinya kembali. Laki-laki
bertubuh jangkung itu mulai menempati kursi kosong itu. Dan mulai mengajak Vey
berbicara dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, laki-laki itu
sudah berhasil menebak jawaban yang membebani pikiran Vey. Penikmat kopi.
Seminggu
terakhir sebelum misteri itu terungkap. Vey tidak dapat tidur tenang di kamar
kos barunya. Bukan karena teman sekamar kos yang sering mengingau atau suasana
baru kos yang selalu ramai dengan alunan musik rock dikedai kopi depan kosnya.
Tapi karena aroma kopi yang selau mengganggunya ketika tengah malam tiba.
Aroma
kopi yang terhirup Vey selalu melintas setiap malam tiba, dan adukan lembut
sendok dengan secangkir kopi mengalun klasik, kadang juga terdengar adukan yang
begitu keras, seperti hendak terburu-buru melayani pelanggannya. Vey sudah
beberapa kali menghirup aroma kopi itu. Aromanya yang sangat dibenci sekali
oleh Vey. Dan kejadiannya selalu setiap tengah malam tiba, Vey tak lagi bisa
menutup matanya saat jarum jam sudah melintas di angka 12 malam. Siapa yang
meracik kopi ditengah malam buta seperti ini ? Aromanya yang begitu semerbak
dan adukan yang mengalun keras lalu melembut. Membuat hidung dan telinga Vey
sangat terganggu.
Vey
telah menceritakan perihal ini pada teman sekamarnya, Jee. Tetapi Jee
sepertinya tidak begitu menggubris cerita Vey itu. Jee malah mengatakan bahwa
mungkin Vey hanya berhalunisasi karena kebenciannya dengan Aroma Kopi. Jee
tidak pernah sekalipun tercium bau kopi dan tak mendengar seseorang meracik
kopi. Sebab ketika Jee sudah terlelap dalam tidurnya dia tidak terbangun sampai
menjelang pukul 4 pagi.
Vey
tahu betul dengan buka tutupnya cafe kopi didepan kosnya itu, namun pada saat malam tiba dari
pukul 6 malam sampai 11 Vey tak mendapati aroma kopi yang begitu semerbak seperti
di pukul 12 Malam. Begitu juga dengan suara racikan kopi di cafe itu. Vey
merasa hal itu sangat mustahil sekali. Hanya telinga dan hidung Vey yang
mengetahui perihal kopi itu. Jika dipikir-pikir, kamar kos Vey letaknya di lantai 3
dan itu terlihat jauh jaraknya dari cafe kopi diseberang kos tempat Vey tinggal.
Tidak mungkin, meskipun memang ada yang meracik kopi malam-malam, akan
terdengar sampai tepat didepan kamar kos Vey. Mendengar kenyataan ini, Vey semakin
penasaran dengan aroma kopi dan suara adukan yang didengarnya itu.
Ketika malam tiba, Vey mencoba untuk
tidak memikirkan lagi aroma sengatan kopi itu. Vey menutup rapat-rapat hidung
dan telinga, serta mengubur dibawah bantalnya. Jarum jam bergerak pada angka
dua belas. Vey tak dapat menutup
matanya. Tetap saja matanya melirik ke arah jarum jam yang sudah melewati angka
dua belas. Namun, beberapi menit kemudian. Aroma kopi mulai menyengat dan suara
adukan secangkir kopi mengalun klasik. Siapa yang meracik kopi tengah malam
seperti ini ?, ahh aromanya menyengat sekali. Hidung Vey memerah nampaknya
begitu alergi sekali dengan aroma kopi yang sangat menyengat malam itu. Vey
tetap yakin bahwa suara itu berasal dari kedai kopi depan kosnya.
Vey melompat keluar dari tempat
tidurnya dan bergerak ke arah jendela. Ia coba memperhatikan kedai kopi dari
jendela kamarnya, dan coba ia terka darimana asal aroma kopi dan racikan kopi
itu, yang tak lain berasal dari kedai kopi itu. Tapi tidak !, Malam kamis itu
Vey tak dapat menebaknya. Aroma itu lambat laun menghilang dari luar jendela
kamarnya. Vey segera menutup jendela kamarnya rapat-rapat. Namun, ketika Vey
membalikkan badannya dan hendak kembali ke ranjang tidurnya, Vey mendapati
Aroma itu kembali didalam kamarnya dan adukan sendok dalam cangkir kopi kembali
terdengar di telinga Vey.
Kedai Kopi yang dimakhsud oleh Jee
siang tadi terlihat dari kamar kos Vey tempati. Kedai beratap tripleks yang
terletak di seberang kos itu masih dalam keadaan ramai penikmat kopi, dan
lampu-lampu suram yang menghiasi kedai kopi itu, tidak ada tanda-tanda bahwa
ada orang yang sengaja mengganggu ketenangan tidur Vey dengan aroma kopi yang
menyengat. Tapi entah, aroma itu masih terus tercium dihidung Vey. Dadanya
mulai sedikit sesak.
Entah kenapa tubuhnya terasa begitu
dingin setelah mencium aroma kopi itu. Tubuhnya mulai menggigil. Jee
mengganggap bahwa tingkah Vey semakin gila. Hal sepela ini saja sudah menjadi
suhu tubuhnya tidak karuan.
Keesokan paginya. Vey tidak seperti
pagi-pagi sebelumnya. Wajahnya bersungut-sungut. Sebab teman terbaiknya itu
kini tidak mau mempercayai peristiwa yang dialami Vey kemaren malam. Vey masih
tetap penasaran dengan barista yang bekerja di kedai kopi itu. Vey sangat
bersikukuh dengan peristiwa yang dialaminya. Sepulang dari kampus Vey akan
mencari kebenaran aroma itu yang kini menjadi misteri baginya.
Jee terpaksa harus menemani Vey
menjadi detektif di kedai kopi itu, sepulang dari kampus. Jee meyakinkan Vey
untuk kali ini. Mereka berdua bersepakat untuk menjumpai kedai kopi depan
kosnya. Keduanya tidak pernah sekalipun menginjak halaman kedai kopi itu.
Meskipun sudah tidak terlalu lama Vey dan Jee tiggal di kos barunya.
Kedua gadis belia itu mampir sejenak
memasuki pelataran kedai kopi. Bentuk kedai itu terbuka, jadi siapapun bebas
masuk, kecuali tempat peracik kopi yang hanya bisa dimasuki oleh barista. Bangunan
kedai kopi itu terlihat seperti bangunan yang masih harus direnovasi atau
mungkin saja memang didesign seperti
itu pula, Vey hanya mengada-ngada. Tong-tong besar menjadi tempat duduk
pelanggan, ban mobil bekas menjadi hiasan disetiap pelataran kedai kopi, serta
lukisan setengah badan manusia nampak ditembok dengan rokok ditangan kanannya.
Vey menatap kosong pandangannya.
Matanya tersorot pada benda yang terlihat begitu aneh baginya. Bekas cangkir
kopi dan ampas didalamnya. Ahh !!! Vey benar-benar benci melihatnya. Sungguh.
Vey menutup hidungnya dengan tekanan yang sangat. Vey melirik, Sendok kecil
berada disamping cangkir kopi yang menjadi keramaian disetiap tengah malam. Vey
memasuki arena peracik kopi. Meskipun dia melihat tulisan “DILARANG MEMASUKI
AREA INI, HANYA PELAYAN” Vey tetap mengabaikannya. Tak peduli. Bahan-bahan
racikan kopi tertapa rapi di etalase. Berbagai rasa Vey temui disana. Namun Vey
hanya satu tujuan menjumpai kedai itu. Dia hanya ingin kejadian setiap tengah
malamnya terungkap.
Setelah beberapa menit disana, Vey
dikejutkan dengan kertas putih yang tertempel rapi ditembok ruang bagian dalam
kedai kopi. Karena rasa penasarannya Vey melepas kertas itu dari tempat
asalnya. Jee hanya menuruti tingkah aneh Vey sedari tadi. Vey membaca kertas
itu yang bertuliskan.
Kopi tak
pernah memilih
Kepada siapa
yang layak menikmatinya
Bagi Kopi,
penikmatnya semua sama
Secangkir kopi
bisa saja tak terbeli
Saat hangatnya
menyuguhkan persahabatan dan persaudaraan
Namun,
semuanya takkan pernah tersampaikan
Persaudaraan
yang kujalin harus berakhir dengan kesalahan
Awan
membawaku pergi berlayar
Hingga
bertemu denganmu namun hanya sebatas bayang ...
-Veynya-
Vey terkejut
buka main. Hatinya goyah seperti diterpa ombak yang begitu dahsyatnya. Ketika melihat
namanya tertulis dilembaran kertas putih itu. Tapi Vey tetap harus meyakinkan
bahwa tulisan dalam kertas itu tidak merujuk pada dirinya. Tapi entah mengapa hatinya
pagi itu terasa kacau. Seperti ada sesuatu dibalik tulisan itu. Kedua gadis itu
mulai saling membisikkan satu sama lain. Hingga mereka terdiam saat mendengar
suara sepatu melangkah kearahnya. Keduanya membalikkan badan, sedang kertas
putih itu masih melekat ditangan Vey. Namun, beberapa detik kemudian terjatuh
tepat diatas sepatu Vey. Laki-laki bertubuh jangkung itu menghampiri Vey ,
semakin mendekat. Tepat dihadapan Vey. Kepalanya hanya merunduk menatap kertas
dan sepatu laki-laki itu dengan jarak yang begitu dekat dengan sepatunya.
Laki-laki jangkung itu mengambil kertas diatas sepatu Vey.
Setelah itu,
laki-laki kembali berdiri, Ia hanya mengatakan bahwa ia sangat berterimah kasih
karena Vey telah membacanya. Ia juga mengatakan nama yang tertulis dilembaran
kertas itu benar-benar merujuk pada nama Vey, Veynya. Hatinya bergetar. Vey
masih bingung sebenarnya siapa barista yang menulis namanya pada kertas itu.
Kalimat terakhir yang didengar Vey dari laki-laki bertubuh jangkung itu,
sebelum meninggalkan Vey dan Jee mematung dan mengembalikan kertas itu pada Vey
bahwa barista penulis dikertas itu sudah meninggal baru pagi tadi. Akibat
penyakitnya yang tak dapat diselamatkan.
Vey membalik
kertas itu pada bagian punggung kertas tertulis nama penulis “ Dipta”.
Tiba-tiba air matanya jatuh membasahi pipinya. Setetes jatuh pada bagian kertas
itu. Vey baru ingat bahwa Dipta adalah seseorang yang hadir pada masa lalunya.
Tangis Vey semakin menjadi-jadi. Kenapa harus Dipta yang selalu menggangguku
setiap malam itu ? Barista kedai itu adalah masa lalunya. Setahun yang lalu
Dipta pergi tanpa pamit dalam kehidupannya. Sebab itulah Vey membenci aroma
kopi dan suara adukannya. Dipta berkerja sudah sebulan di kedai kopi itu. Saat
Vey tinggal dihadapannya pun Dipta tak pernah pamit dan kini Dipta untuk
selamanya juga tanpa pamit. Barista kopi pahit.
Fikiran Vey
mulai mengolah peristiwa yang selama seminggu ini terjadi pada tengah malam
yang semuanya diperbuat oleh sesorang di masa lalunya. Ia menyadari bahwa Dipta
mungkin saja ingin memberikan kenangan pada Vey, dengan cara seperti itu. Sejak
peristiwa itu terungkap, Vey mulai membiasakan diri mengunjungi kedai kopi
didepan kosnya. Meskipun yang Ia rasakan pilu yang terkubur dihatinya.
Kini harinya-harinya
ditemani kopi dan laki-laki bertubuh jangkung yang selalu menceritakan apa saja
yang biasanya dilalukan Dipta setiap harinya. Meskipun cerita itu sudah
didengar Vey berulangkali. Sebab Rindunya takkan pernah terbalaskan.
Malang , 09082017
BIODATA PENULIS
JihanFee
adalah nama pena dari Jihan Alifia. Lahir di Probolinggo, 18 Maret 1998.
Berdomisili di daerah Kabupaten Pasuruan. Penulis merupakan alumni dari Pondok
Pesantren Terpadu Al-yasini Pasuruan. Mulia menyukai menulis sejak tinggal di
Pesantren, sebab banyak kisah-kisah yang indah untuk dituliskan. Kemudian pada
tahun 2016, melanjutkan studynya di Universitas Negeri Malang, S1 Pendidikan
Sejarah. Saat itulah mulai mengikuti organisasi-organisasi kepenulisan. Kerap
sekali penulis mengirimkan karyanya di koran, majalah, maupun media online
lainnya. Kalian bisa kepoin di instagramnya @Jihaan_e dan untuk membaca karya
tulisnya di blognya http://www.JihanFee.blogspot.com
. Tahun 2017 ini, Penulis mulai menyibukkan diri untuk melanjutkan novelnya
yang pertama. Insyaallah akan diterbitkan tahun depan. Amieen.
Malang
Rabu,
09 Agustus 2017 -23:11-
Komentar
Posting Komentar