IA TAK SELEMAH ITU

IA TAK SELEMAH ITU

Aku menatap sebuah foto yang telah usang, kusam, dan tua. Sedikit corak cokelat, dan abu-abu karena warnanya telah luntur oleh usia. Terlihat senyum bahagia seorang wanita, lebih tepatnya seorang ibu yang telah melahirkan keturunan. Perempuan. Usianya sudah satu tahun waktu itu, dan waktu semakin berlalu hingga anak itu tumbuh menjadi balita yang menggemaskan, menjadi anak-anak yang aktif, gembira dengan masanya, sampai ia tumbuh dewasa.
Wanita itu tersenyum bahagia saat menggendong bayi perempuannya. Senyum yang terlihat sangat menikmati masanya dalam menimang bayi itu saat ia masih sanggup. Disebelahnya tergurat wajah yang tak lagi muda, wanita dan laki-laki. Lekukan kulit yang mulai menua. Keriput. Tetapi mereka menunjukkan wajah bahagia. Telapak tangan yang menepuk telapak tangan yang lain terlihat untuk menghibur sang bayi. Keluarga yang bahagia jika kalian melihatnya.
Bayi itu tersenyum. Terlihat masih sangat muda, rapuh, tak berdaya. Tetapi ia menunjukkan wajah senang karena suara yang ia dengar dari tepukan tangan sang kakek di depannya. Sedang sang nenek, menunjukkan ekspresi tersenyum, senang dan bahagia bisa melihat cucunya tertawa lepas. Sangat menggemaskan.
Kubalikkan lagi lembaran foto itu. Berdiri tiga orang di sana. Laki-laki di sebelah kiri. Terlihat gagah, siap, sigap untuk melindungi anaknya dan istrinya. Namun wajahnya begitu ramah dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Tak ada kegelisahan terlihat di sana. Hanya senyum bahagia yang terlihat. Tangannya menggandeng seorang balita. Di sebelah kanannya, seorang balita lucu berdiri, sepertinya baru bisa berjalan, menikmati pengalaman barunya, berjalan, meskipun tertatih, tapi tak ada rasa kapok untuk mencobanya lagi, karena ini menyenangkan baginya. Di paling kanan berdiri seorang wanita yang sangat ramah, itu terlihat diguratan wajahnya. Mengembang wajah bahagia dengan senyuman lembut di bibirnya. Terlihat jelas. Foto ini berlatarkan  pasir berwarna putih yang tepinya diseret air laut.
Kulanjutkan ke lembaran foto berikutnya. Satu foto yang menarik perhatianku untuk melihatnya agak lama. Sebuah foto yang berisikan semua anggota keluarga, pasti ini adalah foto keluarga saat pergi liburan bersama. Semua tersenyum bahagia, ada yang  berpose dengan dua jari yang ditunjukkan, jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. Semua duduk di atas alas anyaman rotan tipis dengan hidangan makanan ala rumahan. Mungkin ada lima belas orang di foto itu, atau mungkin lebih. Gadis kecil lucu di foto sebelumnya duduk dipangkuan wanita yang memeluk dengan kasih sayang, senyum yang memperlihatkan giginya, terlihat senyum tulus seorang ibu. Mungkin empat tahun usia gadis kecil itu.
Masih di lembar yang sama. Satu foto yang membuatku mengulang memoriku. Saat itu, di meja makan. aku berbincang dengan wanita itu.
“Aku ingin membeli baju.”
“Bilanglah kepada ayahmu, pasti akan dibelikan.”
“Selalu ayah, tak pernahkah ibu ingin membelikanku baju? Atau sekadar mengantarku saja?”
“Uang ibu juga dari ayah nak.”
“Ah, aku benci.” Aku marah kepadanya, jika kupikir lagi, seharusnya aku tak marah. Itu adalah masalah sepele. Memang aku terkadang iri dengan kakakku. Dia laki-laki, terkadang ia pergi membeli baju dengan wanita ini. Ya, dia adalah wanita yang melahirkanku, dan aku memanggilnya ibu. Aku merasa tak diperhatikan olehnya.
“Hai dek, ayo foto dulu dengan ibu.”
“Males ah.”
“Ayolah dek.”
Ibu menggantungkan tangannya di pundakku. Cekrik, kakakku telah mengabadikan momen itu. Ibu tersenyum tak memperlihatkan giginya. Tulus senyumnya, terlihat jelas di raut wajah beliau dalam foto ini. Setelah kejadian itu, aku marah kepadanya, entah berapa hari aku marah. Saat itu usiaku baru memasuki empat belas tahun. Aku membutuhkan kasih sayang ibuku.
 Mungkin karena ibu tak kuat dengan marahnya aku, akhirnya beliau mengantarku untuk membeli baju. Sesampai di toko baju, aku berkeliling melihat-lihat baju mana yang pas dan cocok untukku. Aku berjalan cepat, sedangkan ibu berjalan sedikit lambat di belakangku.
“Ayolah bu, cepat sedikit.”
Ibu merespon perkataanku dengan berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Tapi aku tak menunggunya, aku meninggalkannya dalam jalanku yang kubuat lebih cepat lagi dengan rasa kesal, karena beliau masih lambat bagiku.
“Ibu, ini bagus tidak?” Aku menempelkan sepotong baju berwarna hijau dengan lengan tiga per empat yang tiga senti dari ujung lengannya terdapat garis kain hitam yang melingkari. Panjangnya setengah dari paha, dengan saku disisi kanan dan kiri dan diujung saku itu terdapat kain hitam pula dengan panjang sekitar sepuluh sentimeter dengan lebar satu setengah senti.
“Bagus, cocok dengan kamu nak.”
“Tapi ini nggak kepanjangan ya bu?”
“Pas kok nak, kamu terlihat cantik.”
“Eh mbak, ini bagus enggak.” Aku bertanya kepada salah satu pegawai toko baju itu.
“Bagus kok mbak, bisa dicoba dulu, silahkan.”
Aku mengikuti pegawai itu menuju kamar ganti, dan aku meninggalkan ibu. Saat keluar dari kamar ganti, ibu sudah ada di depan, ternyata ibu mengikutiku.
“Gimana bu? Bagus?”
“Bagus, kamu suka nak?”
“Iya bu, suka.” Aku mengganti pakaianku di kamar ganti. “Udah bu, ayo ke kasir.”
“Udah? Cuma ini aja?”
“Iya. Itu aja. Ayo bu.”
Kami menuju kasir dan ibu membayar baju yang kupilih tadi. Lalu kami pulang.
Masih di lembar foto yang sama. Aku melihat seorang laki-laki yang tak lagi muda. Guratan-guratan wajah yang terlihat semakin lama semakin tua. Beliau adalah kakekku dari ibu. Aku dan kakakku berada di sisi kirinya. Foto ini mengingatkanku pada suatu kejadian. Saat itu, aku masih berumur sebelas tahun.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam, cucuku baru pulang.”
“Iya kek, capek.”
“Sini, biar kakek yang membawakan sepedanya.”
Aku baru pulang sekolah dari SD. Ya, aku menaiki sepeda mini. Sepeda yang pada umumnya dipakai saat aku masih SD, tahun 2008.
Kakek selalu menungguku di teras rumah. Setiap hari, saat aku baru sampai gerbang rumah, kakek selalu membawa sepedaku masuk. Tak tega melihat cucunya yang capek karena mengayuh sepeda dari sekolah sampai rumah, meskipun jarak yang kutempuh hanya dua kilometer. Kakek melakukan ini setiap hari, setiap aku pulang sekolah. Sepeda itu kudapatkan dari beliau pula. Saat kakek panen padi, dan menjualnya di Badan Usaha Logistik (Bulog). Ya, kakekku adalah seorang petani. Dan saat pulang dari bulog, beliau membawa sepeda berwarna merah dengan keranjang berwarna hitam yang terletak di depan setir sepeda.
Kakek tersenyum senang saat pulang. Itulah yang dikatakan tetangga saat bercerita denganku.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Kakek punya sesuatu buat kamu nduk.”
“Apa kek?”
“Ini.” Kakek menunjukkan sepeda mini yang baru dibelinya tadi. Kakek menunjukkan wajah gembira memperlihatkan sepeda itu kepadaku.
“Wahh.. ini buat aku kek?”
“Iya, buat kamu ke sekolah, biar nggak jalan lagi.”
“Waahh, makasi ya kek.”
“Iya, nanti kakek ajari kamu bersepeda.”
“Iya kek, aku ganti baju dulu ya kek.”
Kakek sangat senang melihat cucunya tersenyum dan tertawa saat menaiki sepeda. Berkali-kali aku terjatuh saat belajar, tapi aku tak merasakan sakit. Aku bahkan tak peduli.
Aku membuka lembar foto di halaman terakhir. Satu foto yang membuatku terpaku. Tidak mengalihkan pendanganku pada foto yang lain. Ada empat orang di sana. Dua wanita dan dua laki-laki. Satu wanita yang sedang diam, sepertinya sedang berbicara dengan wanita lain yang ada di hadapannya. Dan dua laki-laki ini melihat ke arah kamera. Wanita yang sedang berhadapan itu adalah Ibu dan nenekku, dan dua laki-laki itu adalah Ayah dan kakekku.
Aku melihat wajah ibu yang tak lagi muda. Aku mulai merindukan wajah itu. Aku meneteskan air mataku kembali. Jika melihat wajahnya di foto ini aku teringat dengan semua sikapku kepadanya. Aku sering membantahnya. Aku sering marah padanya. Tapi ibuku, hanya tersenyum. Aku jadi teringat kata-katanya, yang membuatku teriris hati ini, miris rasanya. Betapa nakalnya aku saat itu. “Jangan marah lagi to nduk sama ibu, ibu susah kalau melihatmu selalu cemberut kepada ibu.”
Maafkan aku ibu. Maafkan aku. Mataku tak sanggup membendung, dan air menetes di sudut mataku. Aku bahkan sering mengatakan ‘aku benci padamu ibu’, ‘ibu tak pernah sayang padaku’, ‘ibu selalu memperhatikan kakak saja’. Aku menyesal dengan semua perkataan itu ibu.
Saat aku semakin dewasa, aku semakin mengerti, bahwa kasih sayangmu ibu sangat besar kepadaku. Dan kasih sayang itu tak kusadari, bahkan itu tak terlihat olehku. Kasih itu bukan berupa kata-kata yang kau ucapkan, tapi itu adalah dari sikapmu yang selalu mengayomi aku sebagai anakmu yang nakal. Menasehati, menyebut namaku dalam setiap doamu. Tak membiarkan anak-anakmu kelaparan. Tak ingin melihat anakmu sedih. Aku bahkan tak sadar, kalau setiap malam kau selalu menemaniku, entah saat aku belajar atau sekadar menonton tv. Ibu tak akan tidur sebelum aku tidur.
Jika kuingat kembali saat aku pergi belanja denganmu ibu. Aku sangat kurang ajar bukan? Aku meninggalkanmu berjalan sendirian, aku bahkan tak menyadari ternyata ibu dalam keadaan sakit. Tapi ibu tak mengeluh sedikitpun. Ibu hanya tersenyum dan menuruti kata-kataku demi mengguratkan senyum di wajahku, karena itu akan menenangkanmu. Aku tak dalam keadaan sedih.
Aku merindukanmu ibu. Aku menyesal. Jika kau masih ada, maukah kau memaafkan anakmu yang kurang ajar ini?. Aku teringat dengan momen itu. Karena aku marah padamu, entah karena apa saat itu, aku lupa. Entah berapa hari pula aku marah padamu ibu. Ibu datang ke kamarku. Saat itu aku hanya berpura-pura tidur, aku berharap ibu segera pergi karena melihatku telah terlelap. Tapi tidak. Ibu menghampiri aku yang sedang berpura-pura tidur ini. Ibu duduk di sebelahku, terasa tanganmu mengusap rambutku. Lalu ibu mencium keningku dan berkata ‘Aku sayang  padamu nak’. Seandainya aku bisa pergi dengan mesin waktu. Aku ingin pergi ke waktu itu. Waktu dimana ibu mengucapkan kata-kata itu. Aku ingin mengulang itu. Aku ingin berhenti di waktu itu, dan mengulang, dan mengulang. Aku tak ingin maju ke waktu selanjutnya walau hanya satu detik.
Aku merindukan tanganmu ibu. Merindukan tanganmu yang mendarat di rambutku dan mengusapnya dengan kelembutan, kasih sayang. Seandainya aku bisa mengingat wajahmu yang mulai keriput. Melihat betapa kesakitannya engkau ibu karena aku.

“Gimana nak?”
“Oh, Bude. Terima kasih sudah menyimpan ini.”
“Iya nak. Sama-sama, ada yang ingin Bude bicarakan padamu.”
“Iya Bude.” Aku segera beranjak dari tempat dudukku. Aku menuju ruang tamu.

Siang ini aku berkunjung ke tempat kakak dari ibuku. Aku memanggilnya Bude dalam bahasa Jawa. Aku kemari untuk menjenguk beliau sekaligus untuk melihat-lihat kembali album foto itu. Ya, aku sering ke sini untuk melihat kembali foto itu, untuk mengenang masa-masa itu.
“Ada apa Bude?” Aku duduk di kursi sampingnya.
“Ada yang mau Bude ceritakan, nak.”
“Iya Bude?”
“Maafkan Bude sebelumnya nak.” Bude diam sebentar, beliau mengambil napas panjang, lalu melanjutkan kata-katanya.
Ibumu sebenarnya sudah sakit cukup lama, tapi ibumu tidak ingin kamu dan kakakmu tau soal ini. Ibumu sebenarnya sakit ginjal, awalnya satu ginjal yang sudah tidak berfungsi, ibumu tidak pernah mengeluh kan? Karena ibumu tidak ingin anaknya pusing memikirkan keadaannya. Sampai akhirnya ginjal yang satunya lagi juga ikut tak berfungsi sebagaimana mestinya. Ibumu sering kencing darah karena ginjalnya sudah tak berfungsi seratus persen sebagai penyaring darah. Ibumu pernah bercerita kepadaku. Saat itu ia sangat kesakitan perutnya, lalu ia pergi ke puskesmas. Ibumu disuruh perawat untuk mengambil sampel urinya, tapi perawat itu berkata ‘Bu, maaf, urin ini tidak bisa dicek karena ini bercampur darah.’
Aku tersentak dengan cerita Bude. Seperti itukah pengorbanan ibuku?. Beliau menahan sakit selama itu?. Memang saat itu dokter yang berada di rumah sakit tempat ibuku dirawat dulu mengatakan kalau ginjal ibu hanya satu yang masih berfungsi dan itu hanya sebesar tiga puluh persen.
Saat itu, ibu koma.
Aku merasa ada yang aneh dengan ibu. Ibu terlihat sangat pucat. Sebelum aku berangkat ke sekolah. Waktu itu aku berumur delapan belas tahun.
“Ibu, aku berangkat sekolah dulu.”
Ibu muncul dari dapur menuju ruang tamu. “Iya nak.” Ibu tiba-tiba memelukku erat. Tidak seperti biasanya. lalu ibu membisik. “Jangan pergi sekolah nak, ibu masih kangen.”
“Eh ibu, masa Laila harus bolos sekolah?”
Ibu tersenyum. “Iya nak, maaf. Hati-hati di jalan. Ibu sayang padamu.”
Entah pertanda apa saat itu. Telingaku berdengung. Hari ini ternyata aku pulang lebih awal. Ada rapat antar guru hari ini. Sesampainya di rumah, semua sepi. Tak ada satu orang pun. Terdengar suara sepeda motor parkir di depan rumah, aku segera keluar.
Bulik?, habis dari mana? Rumah sepi, ngga tau kemana semua orang. Bulik tau?”
“Yang sabar ya nduk, ibumu masuk rumah sakit pagi tadi. Semua sekarang di rumah sakit.” Bulik ini adalah adik kandung ibuku, rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku, hanya sekitar lima ratus meter dari rumah.
Aku melihat ibu yang terkulai tak berdaya di atas ranjang ruang UGD. Aku mendatanginya. Ibuku mengenakan alat bantu pernapasan. Sesekali perawat menyedot busa yang dikeluarkan ibu dari rongga mulutnya, busa itu berwarna kemerah-merahan. Aku mengamati selang itu, kemana arah terakhir busa itu dikeluarkan. Dan selang itu berhenti di sebuah toples kaca bening, entah itu apa namanya dalam istilah medis, dan didalamnya terdapat cairan berwarna kemerah-merahan. “Maaf mas, pembuluh darah di otak ibu ada yang pecah. Jadi ibu terus mengeluarkan itu.” Perawat itu menunjukkan toples kaca yang kulihat tadi. Kakakku juga baru sampai, bersamaan denganku dan bulik. Dia datang dari kampus. Mendengar jawaban dari perawat itu, aku sudah menduga, ibu tak akan hidup lebih lama lagi. Terasa air mataku membendung di sudut mata.
Aku melihat ke arah ibu. Aku tak kuasa melihatnya menderita seperti ini. Ternyata ibuku diserang stroke. Saat aku berangkat sekolah tadi, sekitar tiga puluh menit kemudian, ibuku sudah tak sadarkan diri di rumah.
“Ibu, Laila minta maaf, Laila tidak menuruti kata ibu. Laila tetap pergi ke sekolah tadi. Laila minta maaf bu.” Aku menangis di samping ibuku.
Ibu tak merespon dengan kata-kata. Air matanya jatuh dari samping, mengalir dari pelipis ke telinganya dan menghilang di balik rambutnya. Aku menggenggam tangannya, beliau masih bisa merespon dengan menggerakkan jari-jarinya menggenggam tanganku.
Betapa besarnya kasih sayang seorang ibu. Dalam keadaan berat pun, beliau masih berusaha untuk tersenyum di hadapan kita, bahkan dalam keadaan antara kehidupan dan kematian pun, beliau masih berusaha untuk melawan sakitnya demi menenangkan kita. Saat seperti ini aku mengingat kata-kata ibuku yang hampir tak pernah marah.
“Ibu aku memecahkan piring dan gelas waktu mencucinya tadi”.
“Iya nduk ndakpapa”.
“Ibu ndak marah?”.
“Percuma kalau ibu marah, wong kamu sudah bantuin ibu nyuci piring, lagian kalo ibu marah, piring sama gelasnya ndak balik utuh to”. Ibu memegang pundakku dan melanjutkan, “lain kali kalo nyuci piring yang hati-hati”.

Komentar