#Cinta
Literasi – GPAN Regional Malang
KURIKULUM “BERPIKIR” 2013
Dibanyak negara, saya sering menyaksikan siswa sekolah atau mahasiswa yang aktif berdiskusi dengan guru atau dosennya. Persis seperti yang yang dulu sering kita lihat dalam iklan margarin pada tahun 1980-an, atau gairah siswa Wellesley College yang kita lihat dalam film Monalisa Smile.Sewaktu mengajar di University of Illinois, saya kerap berhadapan dengan anak-anak seperti itu. Karena materi yang harus diajarkan begitu banyak, saya menjawab seperti kebiasaan guru disini. “Sebentar ya. Biar saya selesaikan dulu.” Namun, anak-anak itu tetap tak mau menurunkan tangannya sebelum dilayani berdiskusi.Belakangan saya diberi tahu bahwa pendidik yang baik harus cekatan melayani diskusi, bukan meringkas isi buku. Seorang guru besar senior mengingatkan, “Kami bersusah payah mengubah satu generasi, dari TK hingga SLTA, mengubah kebiasaan siswa yang malas berpikir menjadi aktif mengeksplorasi dengan lebih percaya diri”.Mengapa tradisi seperti itu tidak terjadi disini ? Bahkan di perguruan tinggi semakin banyak dosen mengeluh bahwa anak-anak sekarang tidak gemar membaca sehingga tidak bisa diajak berdiskusi.Dihafal, bukan dipikirAnak-anak kita punya tradisi belajar yang sangat berbeda, yang mengakar sejak taman kanak-kanak. Mata ajaran yang dipelajari jauh lebih banyak, tetapi tidak mendalam. Kalau sulit, rumus yang sangat banyak dibuatkan jembatan keledai atau singkatan-singkatan agar mudah dikeluarkan dari otak.Cara belajar yang demikian berpotensi menghasilkan “penumpang” ketimbang “pengemudi”. Karena itu, banyak orang yang lebih senang duduk menunggu, hidup “menumpang”, “dituntun”, atau diarahkan ketimbang menjadi pengemudi yang aktif dan dinamis.Seperti tampak di angkatan umum, penumpang boleh mengantuk, tertidur, terdiam, sibuk sendiri, tak perlu tahu arah jalan, dan praktis kurang berani mengambil risiko. Sementara pengemudi adalah sosok yang sebaliknya. Karena orang tua juga dibesarkan dalam tradisi belajar yang sama, tradisi serupa ada di rumah. Dengan jumlah mata ajaran yang semakin hari semakin banyak, jumlah yang dihafal siswa disini juga semakin memberatkan.Perhatikanlah bagaimana siswa berikut ini belajar. Siswa kelas I SD yang ibunya bekerja mengucapkan kalimat ini : “Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayahh-ibu dan anak-anak. Ayah ke kantor mencari nafkah, ibu merawat anak-anak di rumah.” Anak itu sempat protes karena ibunyalah yang bekerja, tetapi ibu guru menyatakan “Dihafal saja karena bukunya berkata demikian”. “Kalau engkau mau naik kelas, dihafal saja.”Daya kritis tidak diberi ruang, pertanyaan-pertanyaan penting yang diperlukan manusia untuk bernalar dimatikan sedari muda. Sementara mata ajar kesenian yang diadakan untuk merangsang daya kreasi juga distandarkan dan dihafal. Seperti yang dialami anak-anak yang menggambar pemandangan: gunung dua berjajar, matahari di tengah, dan seterusnya.Hafalan diperlukan untuk mengikuti ujian nasional dan agar diterima di perguruan tinggi atau menjadi pegawai negeri sipil. Bahkan untuk diterima di jurusan seni rupa sebuah perguruan tinggi negeri terkenal, ujian masuknya juga ujian menghafal, bukan portofolio karya-karya calon mahasiswa.Demikianlah penumpang, sekolahnya menghafal tetapi tidak berani berbuat, apalagi menyatakan identitas diri atau berpikir. Ini ditambah lagi tradisi membesarkan anak yang sejak lahir tubuh dan kedua kaki-tangannya dibedong lalu digendong. Sekalipun sudah bisa berjalan, kita selalu dituntun orang dewasa. Beda benar dengan tradisi belajar di negara-negara mendorong manusianya berpikir dan bertindak. Di negeri penumpang, wacana berlimpah, gagasan hebat mudah ditemui di televisi, tetapi sedikit sekali kaum elite yang bergerak.Kurikulum berpikirGagasan merampingkan jumlah mata ajaran tentu saja tak boleh diikuti oleh rasa takut yang berlebihan di kalangan para pendidik. Sebab, sebagaimana layaknya setiap perubahan, maka tak pernah ada perubahan langsung berakhir dengan kesempurnaan. Namun, satu hal yang pasti, seperti orang yang berfoto bersama, maka setiap orang akan selalu melihat pada wajahnya masing-masing. Ia akan mengatakan fotonya bagus, semata-mata kalau dirinya tampak bagus.Bagi saya perubahan kurikulum yang ramai diperbincangkan seharusnya dapat dilihat pada aspek lebih luas daripada sekadar merampingkan mata ajaran. Perubahan ini seharusnya dapat dijadikan momentum untuk melakukan transformasi diri manusia Indonesia dan tradisi mindset “penumpang” menjadi cara berpikir “pengemudi”. Transformasi ini berdampak sangat luas yang sudah pasti membutuhkan penyempurnaan bertahap hingga ke tingkat pendidikan tinggi.Riset-riset terbaru menunjukkan, betapa banyak cara kita belajar sudah harus di ubah. Daniel Coyle (2010), misalnya, menunjukkan kemajuan yang dicapai dalam neuroscience yang menemukan bahwa manusia cerdas tidak hanya dibentuk oleh memori otak, tetapi juga memori otot (myelin). Sementara Carol Dweck dan Lisa Blackwell (2011) menemukan bahwa anak-anak yang secara akademik dianggap cerdas berpotensi menyandang mindset tetap sehingga kecakapannya untuk berkembang menjadi terhambat.Keduanya menunjukkan cara baru membentuk mental pengemudi yang sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan generasi baru di abad ke-21. Jadi, terimalah perubahan dan persiapkan lebih baik.KOMPAS Jum’at, 28-12-2012, halaman 6
Sahabat,
Inspiration !
Topik di atas saya kutip dari salah satu buku ternama
oleh penulis profesional. Sebut saja, “Rhenaldi Kasali”. Beliau seorang penulis
sekaligus inspirator yang menggeluti berbagai macam bidang, diantaranya bisnis,
manajemen, pemasaran, dan sosial. Dalam buku yang berjudul “Let’s Change: Kepemimpinan, Keberanian,
dan Perubahan” mengangkat isu Perubahan sebagai bahan diskusi dalam Program
GPAN Malang #Cinta Literasi. Peluncuran buku yang bertajuk mengupas
perkembangan Indonesia dari berbagai bidang menunjukkan keberanian seorang Rhenaldi
Kasali untuk menggaungkan semangat perubahan dan mengembangkan apa yang
disebut manajemen perubahan. Dalam hidup akan selalu muncul masalah-masalah
baru yang tidak bisa dipecahkan dengan pola pikir dan cara-cara yang lama.
Masalah-masalah itu menurut Rhenaldi, harus
dipecahkan dengan mengubah pola pikir kita menjadi pola pikir yang strategis
sekaligus praktis.
Kurikulum berpikir
Dalam perjumpaan awal forum
group discussion menceritakan bagaimana perkembangan pendidikan dari segi
“Perkembangan Kurikulum” yang selalu mengalami pergantian, hingga terdengar isu
bahwasanya akan dicetuskan Kurikulum Nasional dengan berbagai macam kategori
kurikulum berdasarkan wilayah dan kemampuan peserta didik. Pendapat yang muncul
dari diskusi pagi itu (28 Februari 2016, pukul 10.00 WIB), ditinjau dari
berbagai sudut pandang. Ada pertanyaan yang muncul: Mengapa peserta didik saat ini enggan gemar membaca? Padahal sebuah
isu beredar bahwa Indonesia diprediksi akan mendapat bonus di tahun 2020-2030
yang disebut “Bonus Demografi” dimana
penduduk dengan umur produktif sangat besar sementara usia muda semakin kecil
dan usia lanjut belum banyak. Bukankah
hal tersebut termasuk persiapan bagi kita semua sebagai kaum muda penerus
bangsa? Iya memang benar, namun kembali lagi “Mengapa peserta didik saat ini enggan gemar membaca ? “. Mari kita
kupas satu per satu.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum
yang memusatkan seluruh aktivitas pembelajaran kepada siswa/student center melalui pendekatan
saintifik (saintific approach).
Sehingga dalam proses pembelajaran peserta didik pasti dituntut untuk membaca
terlebih dahulu sebelum melakukan pengamatan, observasi dan menemukan
gagasan/ide. Seperangkat pendidikan pun di rasa kurang cukup untuk
membangkitkan semangat peserta didik untuk gemar membaca. Pasalnya, dalam
kutipan di atas menyebutkan, adanya keterkaitan model belajar dan budaya yang
melekat pada kebiasaan anak. Berdasarkan
hasil diskusi yang menarik perhatia tadi, dapat disimpulkan banyak hal yang
mempengaruhi anak-anak untuk enggan membaca selain pengaruh dari Kurikulum di
Indonesia, yaitu :
1)
Adanya
pengaruh lingkungan keluarga. Tak menutupkemungkinan background keluarga dapat mempengaruhi kebiasaan dan gaya belajar
anak. Pengetahuan orangtua serta pendidikan yang ditempuh akan mengiringi anak
untuk menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan yang tertanam
sejak dini. Jika kita tergolong dalam keluarga berpendidikan, pasti dukungan
moral dan budaya giat belajar diterapkan pada anak didiknya, sebaliknya
keluarga yang digolongkan tidak berkecukupan akan pendidikan pasti mengutamakan
anaknya mewujudkan diri untuk bekerja dan hanya bekerja. Paradigma yang
berkembang tersebut tak selalu dibenarkan, adakala sebagai orangtua pasti
menginginkan anaknya memiliki pendidikan yang cukup dan terarah. Sehingga
sebaik-baiknya orangtua berhak memenuhi asupan nilai pendidikan terhadap
putra-putrinya.
2) Pendidik (guru). Beberapa di antara
seorang pendidik masih mengandalkan sistem “pekerjaan rumah/PR”. Untuk
menuntaskan mata pelajaran yang ditempuh seringkali pendidik masih menggunakan
cara-cara konvensional ketimbang duduk bersama membaca sekaligus berdiskusi. Mungkin
ini tidak semua terjadi oleh seluruh guru di Indonesia, mereka juga mempunyai
porsi dan planning tersendiri untuk mengelola kemampuan peserta didik
dan habit yang diterapkan. Maka dari
itu, sistem “Pekerjaan rumah” bukan salah satu cara membangkitkan semangat
belajar terhadap peserta didik.
3) Perkembangan teknologi (IT). Sering
kita rasakan bahwa perkembangan teknologi tidak ada habisnya. Kita sebagai user haruslah cerdas menanggapi dan
menggunakan teknologi yang beredar di Indonesia. Terkadang kita bisa menjadi
korban kontaminasi IT. Jika hal tersebut tidak direalisasikan dengan tepat dan
benar. Sebagai user yang cerdas,
haruslah pintar membaca situasi dan kondisi yang terjadi, menyesuaikan
kebutuhan dan kemampuan kita dengan menyampingkan keinginan. Dengan demikian,
budaya yang tercipta dapat berjalan sesuai konsistensi dan loyalitas tinggi.
4) Motivasi atau keinginan diri
sendiri. Belajar harus didasari keinginan dan termotivasi dari diri sendiri.
Seseorang yang ingin membaca tanpa harus paksaan dan desakan orang lain.
Sehingga apa yang dipelajari dapat bernilai manfaat untuk diri kita sendiri dan
wawasannya.
5) Lingkungan teman sepermainan. Kita
hidup di dunia selalu berdampingan dan membutuhkan pertolongan orang lain. Tak
heran jika putra-putri kita memiliki teman sepermainan untuk sekadar bergaul
dan belajar bersama. Memilah dan memilih teman juga sangatlah penting, untuk
proses mengantarkan anak kita untuk gemar membaca. Anak-anak yang memiliki
motivasi tinggi untuk belajar dan menyakini kejamnya kebodohan dapat
mempengaruhi teman-teman lainnya. Demikian pula terhadap anak didik kita, jika
tertanam benih-benih nilai moral dan pendidikan anak sejak dini, tentu mereka
dapat mempengaruhi teman sepermainannnya, begitu pula sebaliknya.
6) Kebijakan lembaga pendidikan
setempat. Budaya dan kebijakan yang dijunjung tinggi oleh lembaga pendidikan
setempat dapat mempengaruhi ritme gaya belajar peserta didik. Contoh kasus,
salah satu lembaga pendidikan di Bali mewajibkan seluruh peserta didiknya untuk
tuntas membaca satu buku setiap bulan sekali. Sehingga kebijakan yang dibuat
menjadi kebiasaan siswa untuk selanjutnya, karena adanya stimulus yang tertanam
dari awal pengajaran yang diterapkan. Hal ini masih langka di lakukan oleh
lembaga pendidikan di seluruh nusantara.
7) Rendahnya
“Aksara huruf”. Banyak diluar sana anak-anak dengan keterbatasan fasilitas
dan hidup berkecukupan, sehingga mereka
kaum bawah lebih mengesampingkan pendidikan daripada bertahan hidup dengan
serba kekurangan. Pengetahuan aksara huruf menjamur di seluruh penjuru dunia,
dimulai dari kaum lansia hingga anak-anak usia dini. Sehingga pendidikan formal
jarang sekali mereka rasakan atau sekadar memegang buku sebagai bacaan.
Point-point
di atas merupakan sebab jelas mengapa budaya gemar membaca belum dirasakan oleh
anak-anak. Hasil diskusi yang lebih condong terhadap “Keterbatasan”,
membutuhkan uluran tangan pemuda Indonesia untuk berkiprah dan menggerakkan
pendidikan mulai dari nol. Namun, terdapat catatan yang perlu diperhatikan bahwa
“Membaca bukan cara konvensional sekadar membaca buku pengetahuan”maknailah
arti membaca lebih luas. Catatan yang patut digaris bawahi dalam diskusi hangat
tadi pagi, yaitu:
- Membaca dapat dilakukan dengan cara membaca informasi dari segala bentuk, seperti surat kabar, teknologi pembaharuan, aplikasi, gadget, dan sebagainya yang mengandung arti positif di dalamnya.
- Membaca tanpa adanya paksaan, berangkat dari hati nurani dan kebutuhan masing-masing individu serta dapat dikembangkan sesuai potensi/keahlian yang dimiliki anak yang bernilai positif dan bermanfaat.
- Membaca bukan jalan menutup prestasi anak untuk menjelajahi dunia pendidikan di Indonesia.
Dihafal, bukan dipikir – Penumpang atau
Pengemudi
Diskusi yang kedua mengusung tema “Penumpang
atau Pengemudi”, menjadi topik terhangat untuk diperbincangkan kepada pemuda
penerus bangsa dalam mempersiapkan perubahan yang terjadi di dunia. Komunitas
ini mengatakan, “saatnya kita harus jadi pengemudi, sebelum itu jadilah
penumpang untuk menjadi pengemudi yang cerdas dan berkompeten”. Kalimat
tersebut menjadi kesimpulan perdebatan yang terjadi selama diskusi berlangsung.
Mengapa demikian? Banyak faktor
menjadi pertimbangan sebagai pemikiran matang calon pemimpin masa depan. Terkadang
kita butuh di bawah untuk merasakan peluh hidup menjadi bawahan, hingga gol
dipenghujung cerita kita dapat menjadi pemimpin cerdas dengan segudang masalah
dan pengalaman buruk. Menjadi seorang pengemudi tertuntut menjadi sosok
pemimpin yang berkarakter, karena pada dasarnya fitrah seorang manusia berbeda-beda
sesuai fungsi dan kemampuannya.
Sama halnya pendidikan, membangun
daya kritis bernalar anak-anak perlu arahan dan bimbingan dari pendidik. Mata
pelajaran yang cenderung lebih banyak, memaksa anak untuk menjadi seorang
“penumpang” dahulu, dengan cara menghafal dan terus menghafal. Sehingga budaya
“dituntun” masih melekat dalam pendidikan di Indonesia. Beda benar dengan
tradisi belajar di negara-negara tetangga mendorong manusianya berpikir dan
bertindak. Ketercapaian sumber daya manusia yang handal dan tangguh akan
tercetak untuk membenah bangsa dalam jeratan krisis mental.
Untuk mempersiapkan perubahan di
masa mendatang, khususnya menyambut tahun 2045. Kaum muda berbondong-bondong
menyusun strategi untuk tembus mencapai kesejahteraan bangsanya. Langkah untuk
mengawali perubahan dapat dilakukan dengan menyusun Job planning atau rencana kerja yang di usung untuk tahun tersebut.
Selain itu, diperlukan memprediksi tujuan-tujuan sebagai daur hidup
perkembangan jati diri bangsa. Peran serta masyarakat tak lupa pula untuk berkontribusi
terhadap satu sama lain, mendukung visi
pemerintah dalam “revolusi mental”.
Pasalnya, kita hidup penuh dengan gesekan dan rangsangan. Gesekan dan
rangsangan dapat berupa paradigma pola mikir manusia yang beragam dan
perkembangan IT merajalela. Jika kita mudah mengelola keduanya dengan benar dan
tepat tanpa mencela, semua dapat tertangani dan berjalan sesuai koridor
masing-masing. Jadi, berpandai-pandailah melangkah, sebelum engkau tersesat dan
merasakan dalamnya jurang kebodohan menuju kesengsaraan umat. Semangat belajar
dan Ayo kerja !
Eka Yunindah Tohiriyaningsih
Malang,
28 Februari 2016 @Universitas Negeri Malang
Komentar
Posting Komentar