SEKELUMIT NALAR PERSUASI DALAM TRAGEDI ZONASI

SEKELUMIT NALAR PERSUASI DALAM TRAGEDI ZONASI

Potret PPDB sistem zonasi yang mempertaruhkan jauh dekat rumah-sekolah dan cepat tidaknya pendaftar mendaftarkan calon siswa (https://www.jawapos.com/pendidikan/19/06/2019/kemendikbud-sebut-opsi-tambah-rombel-dan-kelas-untuk-ppdb-2019/)


Carut-marut pergolakan suara dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang hingga membumbungnya status-status panas di media sosial telah mewadahi rekam emosi orang tua siswa Sekolah Dasar (SD) yang tahun ini bakal memasuki tahun pelajaran baru di jenjang menengah pertama. Pasalnya, Peraturan Walikota Malang Nomor 35 tahun 2019 berhasil melahirkan ‘untung-rugi’ bagi para orang tua siswa, terlebih bagi siswa yang bersangkutan tersebut. Sistem zonasi keluaran tahun ini dianggap banyak merugikan alias tidak memberikan kebermanfaatan. Pendaftaran siswa baru tidak lagi berdasarkan Nilai Ujian Nasional, namun bergantung pada jauh dekat jarak rumah ke sekolah tujuan.
Sistem zonasi ini memang tidak menghapus bersih jejak keringat siswa-siswi yang telah berkontribusi menyumbang prestasi bagi sekolah dasarnya. Kuota penerimaan bagi mereka yang menorehkan prestasi tetap ada dan terhitung sebanyak 5%. Lima persen berikutnya ialah bagi calon siswa yang orang tuanya mendapat perpindahan tugas atau tempat kerjanya. Sisanya terhitung 90% dikotakkan pada sistem zonasi.
Menilik berbagai media dan pemberitaan yang ada, pihak terlibat (siswa dan orang tuanya) berusaha sesabar mungkin mengikuti peraturan yang ada. Walau tujuan utama ialah sekolah menengah pertama yang negeri, terkhusus yang notabene favorit, orang tua siswa tidak melakukan demonstrasi sebesar setelah pengumuman siswa yang diterima. Orang tua siswa tetap mendaftarkan anak-anaknya berdasarkan perhitungan jarak tempuh yang telah mereka perhitungkan. Bahkan tidak sedikit yang memperhitungkan jarak berdasarkan jalan tikus ke sekolah tujuan dengan harapan agar anaknya tetap mendapatkan kursi di sekolah tersebut.
Akan tetapi naas, perhitungan-perhitungan tersebut nyatanya ditentukan berdasarkan anak dari mesin pencari Google, yakni GoogleMaps. Tanpa memungkiri kecanggihan teknologi yang ada saat ini, sepintas memanglah baik adanya sistem pendidikan dimaksudkan agar mudah dan efektif dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Akan tetapi juga perlu diketahui bersama bahwa terdapat banyak kejadian ‘nyasar’ dikarenakan mengikuti arah laju GoogleMaps. Dalam hal ini dapat dimaklumi dengan adanya sebutan galat (kesalahan atau kecacatan produk/jasa) yang terkenal dalam bidang ilmu statistika yang tidak menutup kemungkinan terjadi pula dalam teknologi.
Jarak yang ditunjukkan oleh GoogleMaps tidak senada dengan perhitungan real dari orang tua. Jalan yang diikuti mata kunci GoogleMaps juga berdasarkan satu rute saja. Parahnya, hasil protes orang tua juga memaparkan bahwa anaknya tidak berhasil diterima, sedangkan anak tetangganya diterima. Juga diakui pada agenda hearing DPRD Kota Malang dengan para orang tua siswa bahwa terdapat ratusan dari ribuan siswa yang mendapati sistem galat tersebut. Pada tragedi tersebut, pihak DPRD Kota Malang menyampaikan bahwa sistem sudah baku dan benar, pendaftar tidak lengkap dalam menuliskan alamat dan lain sebagainya.
Membuka sisi dari berbagai sudut yang ada, tidak ada pihak yang benar-benar dapat disalahkan. Orang tua sebagai sub dari rakyat secara tidak langsung dituntut patuh terhadap peraturan yang baru saja keluar. Dengan rasa getir akibat memangkas habis harapannya untuk menyekolahkan di sekolah favorit, orang tua makin geram terlebih yang mengalami galatnya sistem. Di sisi lain, pihak pemerintah (baik daerah maupun pusat) memiliki niatan baik terhadap kelahiran sistem ini. Pemerataan pendidikan adalah tameng yang diendus-enduskan terkait tujuan utama penzonasian. Bahkan tidak hanya PPDB, sebaran pendidik juga akan dizonasikan demi memeratakan pengajaran yang diberikan. Sayangnya, niat baik tersebut ‘gagal’ dipahami oleh orang tua dikarenakan pengimplementasian yang kurang matang.
Mengingat pentingnya kemampuan persuasi dalam mengajak suatu pihak dalam mencapai tujuan bersama, tentunya hal tersebut juga sangat diperlukan dalam peluncuran peraturan baru dari pemerintah  ini. Niat baik untuk memeratakan pendidikan tentunya (harusnya) dapat dibaca dengan baik oleh akademisi di seluruh tanah air. Tanpa memuncakkan ego dan opini sendiri, akademisi secara normal bisa menerima peraturan tersebut bahkan mendukungnya. Sebagai seorang penulis dan mahasiswa biasa yang belum meraih gelar sarjana, saya rasa sistem zonasi merupakan jalan keluar untuk mencapai pendidikan yang merata asalkan peraturan dapat dipersuasikan dan implementasi telah dijatuhi gladi kotor serta gladi bersih sebelumnya.
Permasalahan yang ada saat ini ialah sebanyak kurang lebih 14.000 siswa lulus Sekolah Dasar, 9000 berhasil diterima melalui sistem yang ada, maka sisanyalah yang belum mendapatkan kursi pendidikan. Beberapa instansi menengah pertama akan ditambah kuota, namun beberapa saja. Sekolah swasta favorit telah tutup pendaftaran, tinggal sekolah swasta ‘biasa’ yang membuka hingga beberapa kali gelombang. Dari fakta yang ada, alumnus sekolah dasar yang belum mendapatkan kursi dapat mendaftar di sana. Masalah yang ada, apakah sekolah yang masih membuka pendaftaran tersebut terjangkau terkait biayanya? Apakah semua orang tua siswa dapat membayarka uang gedung dan lain sebagainya di sana? Permasalahan ekonomi inilah yang belum tersentuh oleh pemerintah dikarenakan terlalu fokus pada usaha memeratakan pendidikan tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi orang tua siswa sebagai dampak yang dipertaruhkan atas peraturan ini.
Seorang pemimpin tentunya tidak serta merta dalam mengambil kebijakan, sebab kebijakan yang diambilpun pasti didiskusikan dengan berbagai lini kementerian di Indonesia. Akan tetapi, melihat carut-marut yang ada saat ini, baiknya pemerintah juga mengajak warga untuk duduk bersama dalam menggodok keputusan. Sebelum dijalankannya peraturan, ada baiknya dilakukan simulasi pendaftaran seperti simulasi-simulasi yang sebelumnya diterapkan dalam ujian. Sebelum simulasi, ada baiknya pula sosialiasasi bertahap dilakukan. Pengambil kebijakan utama haruslah ingat bahwa yang dihadapinya adalah masyarakat Indonesia dengan segala kemajemukannya. Reaktif adalah sifat utama dari masyarakat Indonesia yang belum bisa ditumpaskandaskan oleh instansi pendidikan.
Dalam permasalahan ini, tentu dapat dimulai dengan sosialisasi terkait bobroknya pendidikan di Indonesia dari jebolan sistem PPDB sebelumnya. Sosialisasi berikutnya dapat diintegrasi pada tujuan pendidikan nasional. Lini agama juga dapat ikut serta terjun menjelaskan bahwa tujuan menempuh pendidikan ialah mencari ilmu, bukan ijazah. Perusahaan-perusahaan juga perlu dibekali terkait aspek interview calon pegawai bahwa instansi pendidikan negeri atau bukan tidak boleh dipertanyakan dalam tes, hal ini kemudian dapat disampaikan pada masyarakat agar tidak takut dengan intansi negeri atau tidak terkait urusan pekerjaan ke depannya. Secara perlahan dapat diperkenalkan sistem zonasi pada masyarakat. Instansi-intansi pendidikan dapat dimintai pengadaan kompetisi ilmiah atau debat terkait isu ini, agar masyarakat tidak kaget. Selain itu, penggarapan pemerataan di sekolah swasta juga mesti dimatangkan. Biaya yang diminta haruslah mengalami pemerataan juga dengan sekolah negeri. 
Dengan demikian, sistem zonasi yang diharapkan memang haruslah benar-benar disiapkan dan digarap dengan teliti. Berbagai antisipasi harus dipikirkan secara mendalam juga demi meminimalisasi adanya pergolakan masyarakat dengan pemerintah.



Penulis: Amanatul Haqqil Ibad (Tim Project Manager) https://www.instagram.com/amanatul_haqqil





Follow dan subscribe akun media sosial GPAN Malang sebagai berikut:

Komentar